Serial Fikih Muamalah (Bag. 13): Hukum Syarat Tambahan dalam Sebuah Akad
Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 12): Bolehkah Membuat Syarat Tambahan Saat Melangsungkan Sebuah Akad?
Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bersama hakikat syarat tambahan dalam sebuah akad, ciri-ciri, dan hukumnya menurut mazhab Syafi’i. Pada pembahasan kali ini, akan sedikit kita paparkan terkait pendapat yang rajih dan kuat dalam permasalahan ini.
Dalam Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah, Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair menjelaskan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat mazhab Hanabilah, di mana pendapat ini juga diambil dan dikuatkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahumallah. Mereka berpendapat bahwa hukum asal syarat tambahan dalam sebuah akad adalah mubah (diperbolehkan) dan bukan terlarang.
Mereka mengemukakan bahwa segala macam syarat yang muncul dan ditambahkan dalam sebuah akad hukum asalnya diperbolehkan. Tidak ada yang terlarang, kecuali apa yang telah jelas ada dalil pelarangan dan pengharamannya.
Oleh karena itu, diperbolehkan bagi kedua pihak, baik itu penjual maupun pembeli untuk menyaratkan sesuatu yang ia pandang penting dalam sebuah akad. Hanya saja, terdapat pengecualian pada beberapa syarat yang dilarang oleh syariat. Di antaranya:
Pertama: Persyaratan yang bertentangan dengan kaidah syariat, yaitu apabila mengandung keharaman dan merupakan perkara terlarang. Seperti menyaratkan riba dan tambahan uang apabila seseorang yang berhutang terlambat di dalam membayar hutangnya dari tempo yang telah disepakati.
Kedua: Persyaratan yang bertentangan dengan makna dan keharusan sebuah akad. Seperti seseorang yang menjual mobilnya kepada orang lain, namun menyaratkan agar mobilnya tersebut tidak boleh dikendarai. Atau menjual rumah, namun menyaratkan agar rumahnya tidak ditempati.
Ketiga: Menyaratkan adanya akad dalam sebuah akad. Seperti seseorang yang menyewakan rumahnya dengan syarat pihak penyewa meminjamkan sejumlah uang kepadanya. Hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis,
لا يحلُّ سلَفٌ وبيعٌ ولا بيعَ ما ليس عندَك
“Tidaklah halal transaksi utang-piutang yang dicampur dengan transaksi jual beli, dan tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud no. 3504, Tirmidzi no. 1234, dan Nasa’i no. 4611)
Keempat: Terkumpulnya dua syarat dalam satu akad, walaupun keduanya merupakan syarat yang benar dan diperbolehkan, akan tetapi keduanya bukan termasuk keharusan asli pada akad tersebut. Seperti seseorang yang yang membeli seikat kayu bakar, namun menyaratkan agar penjual memotong-motongnya terlebih dahulu dan juga mengantarkannya ke rumah pembeli.
Hal ini terlarang karena adanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ
“Tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Abu Dawud no. 3504, Tirmidzi no. 1234, dan Nasa’i no. 4611)
BACA JUGA: Serial Fikih Muamalah (Bag. 8): Cara-Cara Memperoleh Harta yang Dilarang Syariat
Dalil-dalil yang menguatkan bahwa hukum asal syarat tambahan adalah diperbolehkan
Pertama: Firman Allah Ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ
“Dan penuhilah janji Allah.” (QS. Al-An’am: 152)
Allah Ta’ala memerintahkan kita pada kedua ayat di atas dan pada ayat-ayat lainnya untuk memenuhi janji. Perintah ini hukumnya umum, termasuk di dalamnya memenuhi syarat-syarat dan akad-akad yang ada.
Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Ibnu Majah no. 2353)
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa kita diperintahkan untuk bertanggung jawab terhadap setiap syarat yang telah disepakati, tidak boleh ingkar dan berkhianat. Termasuk juga setiap syarat tambahan yang tidak mengandung unsur keharaman serta tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan akad.
Ketiga: Hadis-hadis yang melarang pengkhianatan. Seperti hadis,
لِكُلِّ غادِرٍ لِواءٌ عِنْدَ اسْتِهِ يَومَ القِيامَةِ.
“Setiap pengkhianat akan membawa bendera di belakangnya di hari Kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 1738)
Keempat: Hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
“Bahwasanya ia pernah menunggangi untanya yang sudah lemah dan ia ingin melapaskanya (pergi bebas). Dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyusul saya lalu beliau mendoakan unta saya dan memukulnya. Seketika itu juga unta itu berjalan dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Lalu, beliau bersabda, ‘Juallah ia padaku dengan beberapa dirham.’ Saya berkata, ‘Tidak.’ Beliau bersabda lagi, ‘Juallah ia padaku.’ Lalu, saya pun menjualnya dengan beberapa dirham. Dan saya memberi syarat agar ia membawa pulang saya dulu kepada keluarga saya. Setelah saya sampai, baru saya bawa unta itu kepada beliau, maka beliau pun membayar harganya kepada saya. Kemudian saya pulang, tak lama kemudian beliau mengirim seseorang membuntuti saya. Lalu, beliau bersabda,`”Apakah kamu kira kalau saya rela membeli dengan harga murah agar dapat memiliki untamu? Tidak, ambillah untamu dan uangmu, ia hadiah untukmu.’” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara muallaq setelah hadis no. 2718 dan Muslim secara mausul no. 715)
Kelima: Syarat tambahan merupakan perkara adat dan kebiasaan, yang hukum asalnya adalah tidak terlarang. Manusia pun butuh terhadap hal tersebut.
Kesimpulannya adalah jika asal hukum pada syarat-syarat adalah halal dan diperbolehkan, maka tidak ada yang menjadi haram dan terlarang, kecuali apabila persyaratan tersebut mengandung pelanggaran terhadap syariat ataupun bertentangan dengan prinsip dasar akad. Wallahu a’lam bisshawab
[Bersambung]
BACA JUGA:
- Serial Fikih Muamalah (Bag. 6): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Sempurna
- Serial Fikih Muamalah (Bag. 5): Kepemilikan, Syarat Utama Sahnya Transaksi
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/81727-serial-fikih-muamalah-bag-13-hukum-syarat-tambahan-dalam-sebuah-akad.html